Minggu, 27 Desember 2020

Tujuh Sesat Pikir dalam Ilmu Aqidah yang Perlu Diluruskan

Ilmu aqidah atau yang juga dikenal dengan ilmu kalam memiliki pembahasan yang sangat luas. Paradigma pembahasnya pun beraneka ragam. Ada yang sangat tekstual, ada pula yang kebablasan mengedepankan rasio dalam disiplin ilmu ini. Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) memainkan peran sangat vital dalam menjaga sikap moderat di antara keduanya. Mereka mendasarkan diri pada argumentasi nalar yang seimbang dalam menyikapi teks Al-Qur’an dan hadits. Di antara ulama Aswaja yang sangat berperan dalam menjaga benteng aqidah adalah Syekh Muhammad bin Yusuf as-Sanusi.   

Menurut Syekh Muhammad bin Yusuf as-Sanusi dalam kitab Muqaddimah Sanusiyyah, terdapat tujuh sumber kesesatan dalam ilmu aqidah yang harus kita waspadai, yaitu :   

Pertama, penciptaan sebagai kewajiban bagi Allah sang pencipta.   

Ini adalah kesesatan yang menjalar di kalangan para filsuf Yunani di masa lampau yang meracuni beberapa sekte menyimpang dalam Islam di kemudian hari. Mereka berkeyakinan bahwa eksistensi Tuhan diukur dengan bukti adanya penciptaan berupa alam semesta. Para filsuf Yunani berkeyakinan seandainya Tuhan tidak menciptakan alam semesta maka Tuhan tidak diyakini ada. Selain itu, mereka juga berkeyakinan bahwa alam semesta dan Tuhan adalah dua entitas yang saling terkait dan wujud secara bersamaan. Dengan dalih inilah mereka menyatakan alam adalah qadim (dahulu) sebagaimana Tuhan.   

Para filsuf menggambarkan hal ini dengan dua jalur analogi yaitu :   

Pendekatan asal muasal (‘illat). Mereka meyakini bahwa Tuhan adalah entitas asal muasal (‘illat) dari terciptanya alam semesta. Sehingga mereka meyakini Tuhan dan alam semesta adalah satu kesatuan yang wujud di waktu yang sama (zaman ‘azali). Hal ini dianalogikan dengan bergetarnya jari manusia dan cincin yang dipakai secara bersamaan tanpa ada jeda waktu di antara keduanya.   

Pendekatan tabiat (tab’i). Mereka meyakini bahwa Tuhan adalah entitas yang terpaksa dan manjadi sebuah keharusan untuk menciptakan alam semesta agar dapat diakui sebagai Tuhan. Dalam artian, mereka meyakini bahwa Tuhan tidak memiliki pilihan lain selain menciptakan alam semesta. Hal ini dianalogikan dengan api yang membakar kayu yang seandainya api tak dapat membakar kayu tentu api tersebut tak dapat diakui sebagai api secara tabiatnya. 

Tentu di sini, ulama Aswaja menolak pendapat para filsuf tersebut. Karena menurut ulama Aswaja, Allah menciptakan alam semesta sebagai bentuk pilihan yang Allah kehendaki bukan atas dasar keterpaksaan ataupun kewajiban. Sebagaimana dalam Al-Qur’an :

   وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (٦٨)   

“Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan. Maha suci Allah dan Maha tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan” (QS Al-Qashash: 68).   

Perlu dicatat bahwa menurut ulama Aswaja sifat menciptakan adalah sifat Jaiz yang bermakna Allah berhak untuk menciptakan ataupun tidak menciptakan tanpa ada paksaan apa pun. Sedangkan, alam semesta adalah ciptaan Allah yang bersifat hadits (baru datang) bukan suatu yang qadim (dahulu).   

Kedua, kebaikan secara akal adalah kewajiban bagi Allah.   

Awalnya sesat pikir ini diproklamasikan oleh ajaran Brahmana dari kebudayaan India kuno yang meracuni sekte Muktazilah di kemudian hari. Mereka berkeyakinan bahwa Tuhan harus menciptakan hal yang baik secara akal. Sehingga mereka meyakini ajaran yang diajarkan Tuhan harus baik secara akal dan Tuhan tidak boleh berbuat buruk dalam bentuk apa pun. Karena itu, ajaran Brahmana melarang pemeluknya memakan daging hewan karena tidak mungkin ajaran Tuhan mengajak mereka menyembelih hewan. Menurut mereka, menyembelih hewan adalah perbuatan buruk secara akal karena menyakiti makhluk lain.

Kesesatan ini dilanjutkan oleh sekte Muktazilah yang menyatakan bahwa akal adalah timbangan utama mengenai kebaikan dan keburukan. Maka, menurut sekte Muktazilah syariat harus sesuai dengan kebaikan dan keburukan secara akal. Selain itu, Tuhan juga tidak boleh menimpakan musibah ataupun keburukan kepada hambanya karena hal tersebut buruk secara akal.

Ulama Aswaja menolak paham tersebut. Menurut ulama Asy’ariyyah, baik dan buruk adalah berdasarkan syariat Islam. Maka, tidak ada keburukan secara syariat kecuali hal tersebut adalah larangan yang ditetapkan oleh syariat serta tidak ada kebaikan secara syariat kecuali hal tersebut adaalah perintah yang diserukan oleh syariat.

Ketiga, mengikuti ajaran yang sesat berdasarkan fanatisme.

Kesalahan yang sering dilakukan oleh pengikut aliran sesat adalah mereka terlalu fanatik dengan ajaran sesat yang mereka ikuti tanpa menimbang kesalahan aqidah mereka. Padahal, seandainya mereka mau memikirkan kembali hujjah argumentasi ilmiah para ulama Aswaja dalam menolak penyimpangan aqidah niscaya mereka akan bertobat dari kesesatan yang mereka ikuti. Karena pada dasarnya, ulama Aswaja dari zaman ke zaman selalu memakai pemikiran yang logis dan argumentasi yang kokoh dalam mempertahankan benteng aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.   

Keempat, menjadikan adat kebiasaan sebagai landasan sebab akibat.

Hal ini ditunjukkan dengan keyakinan bahwa adanya sifat kenyang adalah imbas dari makan, adanya sifat terbakar adalah imbas dari api, adanya kesehatan adalah imbas dari obat dan sejenisnya. Kesesatan ini adalah imbas dari menafikan peran Allah sebagai dzat yang menciptakan sebab dan akibat. Padahal, ulama Aswaja telah menyatakan bahwa sebuah sebab tidak akan berimbas kepada akibat yang kita kenal secara adat kebiasaan kecuali dengan izin Allah. Misal contoh, api tidak akan berimbas membakar kecuali atas izin dan takdir Allah terbukti dengan kisah nabi Ibrahim yang dilemparkan ke dalam bara api dan beliau tidak terbakar atas izin dan takdir Allah. 

Kelima, kesalahan pemikiran yang tidak sesuai dengan kebenaran.

Kita meyakini bahwa kebenaran yang sesuai dengan ajaran Baginda Nabi Muhammad adalah ajaran yang dilestarikan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. Karena hal itu, sekte-sekte yang melakukan penyimpangan aqidah umumnya adalah imbas dari pemahaman yang salah dalam memahami ilmu aqidah yang benar. Misalnya, kesesatan sekte Khawarij dengan pemikiran radikalnya dan sejenisnya yang tentu berbanding terbalik dengan ajaran Aswaja yang moderat.   

Keenam, memahami agama sebatas pemahaman tekstual.

Kesesatan pikir ini digaungkan pertama kalinya oleh sekte Khawarij, yakni ketika mereka berambisi untuk membunuh para pemimpin Muslim dengan dasar dalil tekstual “La Hukma Illa Allah (tidak ada hukum selain hukum Allah)”. Kemudian, kesesatan ini dilanjutkan oleh sekte Mujassimah, Wahabi, serta pengikut ajaran Ibnu Taimiyyah yang memahami Al-Qur’an dan hadits sebatas tekstual belaka. Misal contoh, mereka memahami Allah memiliki angggota tubuh sebagaimana makhluk, Allah bertempat di ‘Arsy, serta mereka juga menolak adanya takwil dalam memahami Al-Qur’an dan sejenisnya. Dan ulama Aswaja telah berulang-kali mematahkan argumentasi mereka.

Ketujuh, kelemahan dalam memahami dasar logika akal.

Kesesatan ini banyak terjadi lantaran mendasarkan diri pada tahayyul ataupun ajaran di luar agama Islam. Padahal, dengan nalar logika terendah pun dapat mematahkan argumentasi kesesatan mereka. Misalnya, secara logika Tuhan adalah Dzat yang tidak mungkin tersusun dari bagian-bagian, maka seandainya Tuhan tersusun dari bagian-bagian sebagaimana makhluknya niscaya Dia membutuhkan pencipta lain yang dapat menyusun tubuh-Nya dan ini tidak mungkin secara akal. Karena, pada dasarnya Allah memiliki sifat Mukhalafat lil-Hawadits (berbeda dari makhluknya).

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo


Dua Amal Sederhana dan Paling Utama di Sisi Allah

Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk berpegang pada tali Allah dan tali manusia. Al-Qur’an meminta agar kita tidak bercerai-berai. Perintah ini bukan perintah main-main. Perintah Al-Qur’an tersebut menjadi perintah luar biasa. 

Rasulullah SAW mengatakan bahwa keimanan kepada Allah dan kebaikan kepada orang lain menjadi kunci ibadah secara keseluruhan. Keduanya merupakan amalan utama dan dapat mendatangkan ridha Allah SWT. 

خصلتان لا شيء أفضل منهما الإيمان بالله والنفع بالمسلمين 

Artinya, “Dua hal di mana tidak ada yang lebih utama dari keduanya, yaitu beriman kepada Allah dan bermanfaat kepada umat Islam,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nashaihul Ibad, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 4). 

Oleh karena itu, niat seseorang di pagi hari bahkan juga sangat penting. Niat pagi-pagi seseorang mendapatkan penilaian istimewa dari Allah SWT. Dalam hadits berikut ini, Rasulullah menjelaskan ganjaran mereka yang niat berbuat zalim dan mereka yang berniat membela orang yang terzalimi.

 من أصبح لا ينوي الظلم على أحد غفر له ما جنى ومن أصبح ينوى نصرة المظلوم وقضاء حاجة المسلم كانت له كأجر حجة مبرورة 

Artinya, “Siapa saja berpagi hari tanpa berniat zalim, niscaya diampuni baginya dosa yang telah dikerjakan. Siapa saja yang berpagi hari denga berniat membela orang terzalimi dan memenuhi hajat umat Islam, niscaya ia beroleh pahala sebesar pahala haji mabrur,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nashaihul Ibad: 4). 

Sebaliknya, Allah sangat mencintai hamba-Nya yang bermanfaat bagi orang lain baik hartanya maupun jiwa dan raganya. Sesuatu yang membahagiakan, menghilangkan rasa lapar, membuka jalan atas kesulitan, atau membayarkan hutang orang lain merupakan ibadah paling utama di sisi Allah sebagaimana hadits Rasulullah berikut ini.

 أحب العباد إلى الله تعالى أنفع الناس للناس وأفضل الأعمال إدخال السرور على قلب المؤمن يطرد عنه جوعا أو يكشف عنه كربا أو يقضي له دينا. 

Artinya, “Hamba yang paling disukai Allah adalah orang yang paling bermanfaat kepada orang lain. Sementara amal yang paling utama adalah memasukkan kebahagiaan di hati orang yang beriman yang menolak rasa lapar, membuka jalan atas kesulitannya, atau membayarkan utangnya,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nashaihul Ibad: 4). Adapun berikut ini adalah peringatan Rasulullah SAW agar umat Islam menjauhi kemusyrikan terhadap Allah dan kezaliman terhadap orang lain. Kedua hal ini merupakan perbuatan terkeji. Keduanya sangat dibenci oleh Allah sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang dikutip dalam Kitab Nashaihul Ibad berikut ini :

 وخصلتان لا شيء أخبث منهما الشرك بالله والضر بالمسلمين 

Artinya, “Dua hal di mana tidak ada yang lebih keji dari keduanya, yaitu menyekutukan Allah dan memudharatkan umat Islam” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nashaihul Ibad: 4). 

Dengan kata lain, kalau tidak dapat berbuat baik terhadap orang lain, sekurang-kurangnya kita tidak berbuat sesuatu yang membahayakan mereka atau berbuat zalim terhadap mereka. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)


Keseharian dan Hari-hari Akhir Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (471 H/1078 M-561 H/1167 M) adalah pendiri tarekat Qadiriyah. Syekh Abdul Qadir tidak lepas dari mengajar tafsir, hadits, fiqih, perbandingan mazhab, aqidah, nahwu, dan membaca Al-Qur’an dengan beragam qira’ah. 

Syekh Abdul Qadir mengeluarkan fatwa menurut dua mazhab, Mazhab As-Syafi’i dan Mazhab Ahmad bin Hanbal. Fatwanya dihadapkan kepada ulama Iraq yang membuat mereka takjub pada kefaqihan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. 

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani hanya keluar dari madrasahnya pada hari Jumat untuk melakukan shalat Jumat di masjid jami di Baghdad. 

Setiap malam, Syekh Abdul Qadir meminta orang rumahnya untuk menggelar makanan. Ia makan bersama para tamu yang hadir. Ia juga tidak segan untuk duduk bersama orang-orang terpinggirkan. Syekh Abdul Qadir terkenal sabar menghadapi para santri. 

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah orang yang senang menghibur hati orang fakir. Ia juga orang yang senang mencari sahabatnya yang lama tidak jumpa. Syekh Abdul Qadir dikenal sebagai orang yang pemaaf atas kekurangan dan kesalahan para sahabatnya. 

*** 

Pada hari wafat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, putranya yang bernama Abdul Jabbar bertanya, “Bagian tubuh mana yang dirasa sakit, ayah?” 

“Semua organ tubuhku terasa sakit kecuali hati, nak. Karena ia selalu bersama Allah,” jawab Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. 

Syekh Abdul Qadir kemudian mulai mengulang-ulang kalimat, “Ista‘antu bi lā ilāhi illallāh subhānahū wa ta‘ālā al-hayyul ladzī lā yakhsyal fawt, subhāna man ta‘azzaza bil qudrah wa qahara ‘ibādahū bil maut, lā ilāha illallāhu Muhammadun rasūlullāh.” 

Artinya, “Aku minta tolong kepada yang tiada tuhan selain Allah SWT, Zat hidup yang tidak takut pada kehilangan; maha suci Zat yang perkasa dengan kuasa-Nya, dan menundukkan hamba-Nya dengan kematian. Tiada tuhan selain Allah. Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.” 

Syekh Abdul Qadir kemudian terdengar mengucap, “Allah…Allah..” 

Syekh Abdul Qadir terus menerus mengulang-ulang kata “Allah…” 

Akhirnya suara Syekh Abdul Qadir Al-Jailani perlahan mengecil sebelum akhirnya berhenti senyap. Sementara lidahnya menempel pada langit-langit mulutnya. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani wafat pada malam hari pada usia 90 tahun. 

Shalat jenazah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani diimami oleh putranya, Abdul Wahhab, yang kemudian diikuti oleh 49 anaknya dari empat istri almarhum. Shalat jenazah juga dilakukan oleh khalayak ramai yang terdiri atas santri, pengikut, dan para sahabatnya. 

Jenazah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dimakamkan di serambi madrasahnya. Pintu madrasah tidak dibuka hingga siang hari. Sementara masyarakat luas pergi bergegas untuk menshalatkan dan menziarahi makamnya. 

*** 

Riwayat ini diangkat oleh M Abdurrahim dari berbagai sumber pada pengantar Kitab Al-Fathur Rabbani wal Faidhur Rahmani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, (Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H). Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan).


Ketika Iblis Mengadu Kepada Allah Tentang Inkonsistensi Manusia

Dalam kitab al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâir, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi meriwayatkan kisah yang disampaikan Imam Fudhail bin ‘Iyadl tentang pengaduan Iblis kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Berikut kisahnya: وقال الفضيل بن عياض: قال إبليس: يا ربِّ، الخليقة تحبّك وتُبغضني، وتعصيك وتطيعني. فقال الله سبحانه: لأغفرنَّ لهم طاعتهم إيّاك ببغضهم لَكَ، ولأغفرنَّ لهم معصيتهم إيايَ بحبّهم لي (Imam) al-Fudhail bin ‘Iyadl berkata: Iblis berkata (kepada Allah): “Ya Tuhan(ku), makhluk(-Mu manusia) mencintai-Mu dan membenciku; (tapi mereka juga) bermaksiat kepada-Mu dan menaatiku.” Kemudian Allah subhanahu (wa ta’ala) berfirman: “Sungguh ketaatan mereka kepadamu akan Ku-ampuni sebab kebencian yang mereka miliki untukmu, dan sungguh kemaksiatan mereka kepada-Ku akan Ku-ampuni sebab cinta yang mereka miliki untuk-Ku.” (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâir, Beirut: Dar Shadir, 1988, juz 1, h. 196) **** 


Ya, manusia memang begitu. Tak jarang menyakiti kekasihnya meskipun cinta, apalagi terhadap yang dia benci. Cinta dan benci itu seperti tetangga dekat, yang saling berjumpa dan menyapa. Seorang pecinta akan benci melihat orang yang dicintainya didekati atau dihasrati orang lain. Begitu pun sebaliknya, seorang pembenci akan senang melihat orang yang dibencinya tertimpa petaka atau musibah. Kenapa demikian? Ya, memang begitulah manusia. Manusia adalah makhluk yang unik nan menawan. Dia memiliki nalar dan rasa yang kontradiktif. Keduanya saling terkait. Dalam cinta, tersimpan marah dan benci; dalam benci, tersimpan cinta dan senang. Karena itu, Rasulullah mengajarkan manusia untuk mencintai dan membenci secara sederhana, biasa-biasa saja. Jangan berlebihan, apalagi melebih-lebihkannya.  

  

Riwayat di atas, sedikit banyak berbicara tentang hal itu. Manusia, khususnya yang beriman, membawa fitrah cinta kepada Tuhannya. Dia pun tak sudi menuruti rayuan Iblis dan kroni-kroninya. Tapi, naik turunnya perasaan, bergejolaknya pikiran, dan terombang-ambingnya hawa nafsu, membuat manusia menjadi makhluk yang tidak mungkin tidak pernah salah. Selama dia hidup, manusia akan terus berhadapan dengan keadaan-keadaan yang akan mempengaruhi tindakannya. Di satu waktu, dia bisa bersedih dan menangis; di waktu lain, dia bisa tertawa dan gembira. Di satu waktu, dia bisa berbuat dosa dengan sengaja ataupun tidak; di waktu lain, dia bisa berbuat baik dengan sengaja ataupun tidak. Jika diamati, ada dua tipe dosa dalam pengaduan Iblis di atas. Pertama, dosa menaati Iblis, dan kedua, dosa bermaksiat kepada Allah. Keduanya akan diampuni oleh Allah karena fitrah cinta yang mereka miliki kepada-Nya, dan kebencian yang mereka punyai untuk Iblis. Artinya, sisi baik manusia, tidak bisa diabaikan dalam memandang manusia secara utuh. Bahkan, sisi baik itulah yang didahulukan jika mengacu pada kisah di atas. Meskipun manusia tetap bermaksiat dan menaati Iblis, Allah mengampuninya karena sisi baiknya, yaitu cinta mereka kepada-Nya dan benci mereka kepada Iblis. Berbeda halnya dengan hubungan sesama manusia, kebaikan sebesar gunung akan tertutupi oleh satu keburukan. Tidak jarang dari kita, mengakhiri hubungan pertemanan hanya karena satu kesalahan seorang teman, dan dengan seketika, kita abaikan banyak kebaikan yang pernah dia lakukan kepada kita sebelumnya. Padahal, jika merujuk kisah di atas, penilaian kebaikan harus lebih didahulukan daripada penilaian keburukan. Karena pada hakikatnya, terhadap orang yang dicintainya pun, manusia bisa melakukan kesalahan, apalagi terhadap orang yang dia benci. Tentu saja, ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melakukan kesalahan, tapi paling tidak bisa membuka pikiran kita agar dapat melihat manusia secara menyeluruh, tidak secara parsial per-kesalahan dan kesalahan saja. Lagi pula, ampunan Allah itu bersifat pasti, tidak seperti maaf dari manusia. Pintu maaf-Nya selalu terbuka lebar bagi siapa pun yang hendak memasukinya. Kasih sayang-Nya jauh lebih besar dari murka-Nya. Jadi, kita tak perlu ragu untuk selalu memohon ampunan-Nya setiap hari, bahkan jika kita merasa tidak berbuat dosa hari ini. Sebab, bisa saja kita melakukan dosa yang tidak kita sengaja. Misalnya, menyakiti perasaan orang lain tanpa kita sadari, melihat orang yang membutuhkan meski kita mampu membantunya, atau menendang sampah di jalanan tanpa hasrat memungutnya. Di samping itu, merasa tidak berbuat salah atau dosa adalah sesuatu yang perlu kita “istighfari” juga. Kita harus berjuang untuk menghindari perbuatan salah. Sebab, semakin banyak kesalahan dan dosa terkumpul, sisi kebaikan kita semakin tertepikan. Jangan sampai dosa yang menumpuk terlalu banyak, membuat kita kehilangan kemampuan untuk meminta maaf dan memaafkan. Jangan sampai kesalahan yang banyak itu melalaikan kita dari memohon ampunan-Nya. Sebab, jika sesuatu sudah menjadi kebiasaan, yang mulanya masih terlihat sebagai kesalahan, perlahan-lahan menjadi hal yang lumrah.  Karena itu, ungkapan Imam Hasan al-Bashri tentang orang yang berhasil meraih hari raya (‘Id) adalah orang yang tidak bermaksiat kepada Allah penting untuk kita renungkan bersama. Katanya: كل يوم لا يعصى الله فيه فهو عيد، كل يوم يقطعه المؤمن في طاعة مولاه وذكره وشكره فهو له عيد “Tiap hari yang Allah tidak dimaksiati di dalamnya, maka itu adalah hari ‘Id (hari raya). Tiap hari yang seorang mukmin menggunakan (seluruh waktu)nya dalam ketaatan kepada Tuhannya, berdzikir kepada-Nya, dan bersyukur atas (nikmat-nikmat)-Nya, maka itu adalah hari ‘Id.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif: Fîmâ li Mawâsim al-‘Âm min al-Wadhâ’if, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997, h. 317) Wallahu a’lam bish-shawwab... 


Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen