Sesungguhnya kehidupan bermasyarakat
ini memiliki berjuta pintu menuju ketaqwaan. Diantaranya adalah dengan berbuat
baik, berbuat santun dan berakhlaq yang mulia, itu semua merupakan jalan menuju
ketaqwaan.
Mungkin diantara kita ada orang yang
berprofesi sebagai pedagang, yang tentu mempunyai keinginan agar
perdagangannya maju dan juga mendapatkan ridho Allah, mungkin pula
diantara kita ada yang menjadi pejabat yang keputusannya ingin diterima
masyarakat luas namun tidak bertentangan dengan hukum Allah, mungkin juga diantara
kita ada yang menjadi petani yang ingin pertaniannya sukses tanpa ada orang
lain yang dirugikan, dan mungkin sekali banyak diantara kita yang hanya menjadi
rakyat jelata yang hidup dalam kemelaratan dan kesusahan.
Apapun profesi kita, dan siapapun kita,
tentu mencari satu hal yang dicari oleh setiap manusia berakal, yaitu
kebahagiaan. Namun demikian kadang kita salah dalam mengartikan dan
mengukur kebahagiaan. Ada yang beranggapan bahwa kebahagiaan bisa diraih
dengan harta, kedudukan, ilmu pengetahuan dan semacamnya. Memang semua itu
termasuk salah satu dari faktor yang menyebabkan manusia bahagia, namun bagi
orang yang meyakini akan laa ilaha illallah ada sebuah kebahagiaan yang
sifatnya abadi, karena memang datangnya dari Dzat yang maha abadi.
Ketenangan yang dirasakan oleh jiwa
adalah satu-satunya faktor untuk meraih hakikat kebahagiaan abadi. Dan
hanya untuk itulah Allah mengutus para Nabi dan Rasul. Adapun konsep
kebahagiaan yang dibawa oleh junjungan kita, baginda Nabi besar Muhammad
SAW terletak pada kesucian dan keindahan sebuah jiwa. Dimana
istilah dari penyucian itu disebut dengan Tazkiah atau Tahsinul akhlak. Semakin
dekat umat manusia dengan konsep Tazkiah tersebut, semakin dekatlah
kebahagiaan itu. Tapi bila semakin jauh dari kesucian jiwa atau akhlak maka
pertanda dekatnya kemerosotan dan kehancuran.
Menurut Prof. Dr. Muhammad Said
Ramadhan al-Buthi, Ulama’ Syiria, kehancuran umat Islam saat ini
bukan dikarenakan kemunduran ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya, namun
dikarenakan hilangnya sebuah jati diri, dimana mereka tidak lagi
menyadari bahwa dirinya adalah seorang hamba. Dan hal ini sangat erat kaitannya
dengan akhlak didalam jiwa seseorang.
Senada dengan al-Buthi adalah Prof.
Sayyid Naquib al-Attas Cendikiawan Muslim Malaysia yang berpendapat bahwa
kemunduran umat Islam lebih fundamental dari hanya sekedar kemunduran ekonomi,
politik, dan sejenisnya. Yaitu kehancuran pada tingkat metafisis. Akibatnya
umat Islam kehilangan pijakannya, sehingga menyebabkan hilangnya adab/akhlak dalam
diri umat Islam. Ketiadaan adab inilah yang menjebloskan umat Islam pada jurang
kehancuran .
Lantas apakah sebenarnya akhlak itu?
Akhlak adalah sifat-sifat dan perangai
yang memberikan gambaran batin yang bersifat maknawi dan rohani pada manusia,
dimana dengan gambaran itulah manusia dibangkitkan di saat hakikat segala
sesuatu tampak di hari kiamat nanti. Jujur, Sabar dan Pemaaf adalah
sebagian contoh dari akhlak dan sifat mulia, sementara Dusta, Pemarah dan
Pendendam menjadi gambaran sifat yang tercela.
Akhlak adalah bentuk jamak dari kata
khuluq yang kalau dihubungkan dengan manusia, kata khuluq adalah lawan
kata khalq. Jasmani apabila tersusun dengan rapi dan baik maka disebut Husnul
Khalq [baik ciptaannya, bentuknya] yaitu gambaran lahiriahnya baik. Begitu pula
gambaran batin manusia, apabila tersusun dari sifat-sifat yang indah, pribadi
yang baik dan perilaku yang mulia maka gambaran batinnya baik, dan itulah yang
disebut Husnul Khuluq [akhlak yang baik]. Gambaran batin itulah yang dilihat
oleh Allah SWT, dan dengan gambaran itu pula, manusia dibangkitkan kelak di
hari Kiamat.
Dari penjelasan ini tampak bahwa potret
jasmani seorang manusia derajatnya sama sekali tidak sama dengan potret
ruhaninya. Dengan demikian, seorang yang berakal serta beriman, wajib untuk
mengerahkan segala kemampuannya untuk meluruskan akhlaknya dan berperilaku
dengan perilaku yang dicintai oleh Allah SWT serta melaksanakan maksud dan
tujuan dari diutusnya baginda Rasullah SAW yang bersabda :
إنـما
بعــثـتُ لأتـمّمَ مكـارم الأخْـلا ق
“Bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia.”
Dalam kehidupan ini manusia kadangkala
memiliki tabiat yang baik dan terpuji, juga tabiat yang buruk dan tercela. Lalu
apakah mungkin bagi kita untuk menghilangkan [mengubah] tabiat-tabiat
buruk tersebut agar kita sampai pada kesempurnaan akhlak sebagaimana dimaksud
hadits diatas?, ternyata sangat mungkin bagi setiap orang [mukallaf] untuk
mempunyai kesempatan menyucikan diri dari sifat-sifat tercela sekaligus
menghiasi diri dengan sifat-sifat yang mulia, terpuji dan indah.
Hal ini bisa dicapai dengan
kesungguhannya di dalam menumbuhkan keinginan/kemauan merubah sifat yang
tercela serta melaksanakan keinginan tersebut. Apabila keinginan dan niat itu
telah sempurna maka hendaknya dia berusaha dengan cara selalu memperhatikan
apa-apa yang keluar dari dalam dirinya, baik berupa kata-kata [ucapan],
tindakan [perbuatan] maupun cara bergaulnya dengan makhluk yang lain agar gambaran
batinnya menjadi baik.
Betapa banyak kita saksikan dari umat
ini, orang-orang yang membelanjakan hartanya dan bersusah payah dalam memperindah
dan menghiasi anggota badannya, jasmani dan penampilan lahirnya, padahal itu
semua tidak ada artinya bila dibandingkan dengan memperindah akhlak. Seorang
mukmin seharusnya memiliki kemampuan untuk menyadari hakikat ini. Maka
dari itu seorang arif dari Yaman pada abad enam belas mengatakan :
من شغـله تغـذية
جســده عـن تغـذية روحـه فليطـلـب أجـره من الحـيتان والد يدان
التى تأ كل جســـده
“Barang siapa hanya menyibukkan diri di
dalam memberi makan jasadnya tanpa memikirkan makanan ruhnya, maka mintalah
balasannya kepada ulat dan cacing-cacing yang akan menggerogoti tubuhnya”.
Hal ini disebabkan karena orang
tersebut menabdikan hidupnya hanya untuk tubuh dan jasadnya, semangat dan
keinginannya hanya diarahkan kepada makanan jasmani belaka tanpa menghiraukan
makanan rohani dan penataan akhlaknya. Dengan demikian, dia hanya
mengabdi kepada ulat-ulat yang nanti akan menyelimuti dan memakannya.
Maka jelaslah bagi seorang mukmin bahwa meluruskan akhlak merupakan hal yang sangat penting untuk dipikirkan dan dilaksanakan, agar dalam hidup ini seorang mukmin bisa melaksanakan kewajibannya dengan sempurna, serta dapat menghubungkan dirinya dengan Baginda Rasulullah SAW yang memang diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Di dalam Al-Qur`an Allah SWT memuji beliau di saat orang-orang kafir mensifati beliau dengan sifat gila :
Maka jelaslah bagi seorang mukmin bahwa meluruskan akhlak merupakan hal yang sangat penting untuk dipikirkan dan dilaksanakan, agar dalam hidup ini seorang mukmin bisa melaksanakan kewajibannya dengan sempurna, serta dapat menghubungkan dirinya dengan Baginda Rasulullah SAW yang memang diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Di dalam Al-Qur`an Allah SWT memuji beliau di saat orang-orang kafir mensifati beliau dengan sifat gila :
ن ‘ والقلـمِ وما
يسطـُروْن * مـَآ أنت بنـعمـة ربّك بمجنـونٍ *وإنّ لك لأجــراً غيــرَ
مـَمْنُونٍ * وإنـك لـعـلـى خـلق عـظـيم
“Nuun, demi qalam dan apa yang mereka tulis, berkat nikmat tuhanmu, kamu [Muhammad] sama sekali bukan orang gila, dan sesungguhnya bagimu pahala besar yang tidak akan terputus, dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti agung ”. (QS. Al-Qalam: 1-4).
Dalam ayat tersebut dengan jelas Allah
menolak tuduhan orang-orang kafir atas diri Rasulullah SAW bahwa beliau
gila, sekaligus Allah juga menjelaskan bahwa agungnya akhlak tidak bisa
dipisahkan dengan akal yang sehat. Seandainya Rasulullah SAW gila tentu tidak
akan tampak darinya akhlak yang agung.
Sesungguhnya akhlak yang mulia
merupakan manhaj yang lurus (cara yang pas) untuk menghadapi problematika hidup
ini, dan itu tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang mempunyai akal yang
luas. Karena itulah akal didefinisikan dengan; Tabiat dalam jiwa yang dapat mencegah
pemiliknya dari mengerjakan hal-hal yang keji.
Maka kemampuan manusia untuk mencegah
dirinya dari hal-hal jelek dan keji merupakan hakikat akal. Jadi, hanya orang
yang berakal cerdaslah yang mampu menguasai dirinya di saat marah dan tetap
berakhlak dengan akhlak yang baik. Semakin cerdas akal seseorang maka akan
semakin mampu untuk menjaga dan menahan hawa nafsunya dari perbuatan yang tidak
semestinya.
Akhirnya, penjelasan ini menunjukkan
bahwa kesempurnaan akhlak, merupakan ukuran baik dan tidaknya seseorang, baik
di dunia ini maupun di akhirat nanti. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim
untuk memperhatikan budi pekertinya, baik kepada dirinya, keluarganya, maupun
orang-orang disekelilingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar