Penulis
kesohor kelahiran Jakarta, H Mahbub Djunaidi (1933-1995) memiliki kedekatan
khusus dengan KHR As’ad Syamsul Arifin. Dan sepertinya ada ketaatan yang khusus
pula dari Mahbub kepadanya.
Dalam
sebuah tulisannya di tahun 1985, karena ditelepon Kiai As’ad untuk menghadap ke
Situbondo, Mahbub mengupayakan datang. Padahal dalam tulisan itu, ia yang telah
hijrah dari Jakarta ke Bandung, mengaku ngantuk. Dan Situbondo bukanlah kota
yang dekat. Dari Surabaya saja mesti naik bus menempuh perjalanan 200 km.
“Buat
orang Bandung seperti saya, kota Situbondo itu jauhnya bukan alang-kepalang.
Membayangkannya saja sudah ngos-ngosan,” katanya pada koran Eksponen 7 April
1985 yang berjudul Lagi-lagi Situbondo.
Penulis
novel Dari Hari ke Hari dan Angin Musim ini, dalam tulisan lain mengungkap
sosok Mustasyar Aam PBNU tersebut:
“Kepada
saya, sang kiai ngobrol penuh jenaka tentang romantika masa mudanya. Kepada
saya, kiai bicara perihal keadaan negara dan pikiran pemecahan masalah tingkat
tinggi. Kepada saya, kiai mempersoalkan apa yang pernah ditulis Suzanne Keller
dalam dia punya “Beyond the Rulling Class”-nya: pengelompokan elite golongan
atas dengan segala akibatnya. Kepada saya, kiai menandaskan keblingeran Ayatullah
Khomeini.”
Ungkapan
Mahbub tersebut, menunjukkan horizon ilmu pengetahuan Kiai As’ad tidak hanya
kitab kuning mellul, melainkan juga ilmu umum. Kiai As’ad mampu mengkritik
tokoh-tokoh dunia waktu itu.
Lanjutan
tulisan tersebut, dengan menunjukkan kehebatan Kiai As’ad, sekaligus mengkritik
Sutan Takdir Alisyahbana (STA). Seperti diketahui, STA menolak fondasi
pendidikan nasional berdasrakan dari pesantren, tapi seharusnya dari Barat.
Pendapat STA berlawanan dengan tokoh-tokoh senior seperti Soetomo, Tjindarbumi,
Adinegoro, Sanusi Pane, dan Ki Hajar Dewantara. Silang pendapat mereka
diabadikan dalam Polemik Kebudayaan yang didokumentasikan Achdiat
Kartamihardja.
Di
sisi lain, tulisan Mahbub yang dimuat Tempo, 27 Februari 1982 ketika Orde Baru
sedang giat-giatnya menganggap agama sebagai residu. Agama dalam hal ini,
adalah kalangan Nahdliyin (pesantren). Kalangan penghambat dan beban
pembangunan.
Dengan
tulisan itu pula, Mahbub sepertinya ingin menunjukkan kepada Orba bahwa
kalangan pesantren itu pemahamannya tidak bisa dikatakan penghambat
pembangunan. Lihatlah Kiai As’ad dengan pemikirannya. Mahbub menunjukkan bukti
tersebut:
“Dan
kepada saya, Kiai As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo ini memikirkan cara
bagaimana menerapkan teknologi madya kaum nelayan sepanjang lor Jawa dan
seantero Madura dengan pulau-pulau yang tak sanggup saya hafal namanya. Jika
ada waktu luang, baik juga Prof. Sutan Takdir Alisyahbana bertukar pandangan
dengan beliau seraya santap capcay di rumah makan turis Pasirputih,” ujar
Mahbub pada tulisan ”Di Suatu Masa, Sebuah Persoalan” tersebut.
Hubungan
Kiai As’ad dan Mahbub Djunaidi diakui Isfandiari, anak bungsu Mahbub. Kepada
sebuah media online, Isfan menyampaikan kesaksian persentuhan ayahnya dengan
kiai tersebut.
“Paling
teringat saat bertemu kali pertama dengan Kiai As’ad Syamsul Arifin di
Situbondo, kiai kharismatik yang berselera humor tinggi, juga toleran. Ia
pernah mengajak saya ke “gubuknya” di sudut pesantren yang saat itu sudah
megah. Kediamannya hanya terdiri atas dipan dan perabot seadanya. Sangat
sederhana. Saat itu saya saksi hidup persahabatan ayahnya dengan Kiai As’ad,”
katanya. (Abdullah Alawi)
Sumber
: http://www.nu.or.id/post/read/72828/kiai-asad-di-mata-mahbub-djunaidi-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar