Minggu, 01 Januari 2012

~ Kekuatan Jiwa ~



Alkisah, di suatu tempat Rasulullah didatangi seorang lelaki kafir yang langsung menodongkan pedang kepada Nabi. Ia berkata : “ Sekarang, tidak ada siapapun di sini. Siapa yang akan menolongmu wahai Muhammad?”
Memang, di tengah padang pasir yang sepi itu, tiada seorangpun  kecuali Nabi dan si penodong itu. Tak heran, jika rasa kesombongan yang tinggi merasuki diri si penodong. Dalam gambarannya, syiar Islam bisa segera ia padamkan seketika. Dan tanpa kesulitan, ia akan bisa memenggal kepala Nabi. Dan sebelum itu pastilah Muhammad merintih-rintih untuk minta hidup.
Namun, kagetlah ia. Tidak ada sedikitpun kata-kata merintih minta hidup. Dan tak tersirat sedikitpun guratan di wajah Muhammad. Beliau justru menjawab dengan tegas pertanyaanya disertai nada yang menggetarkan hatinya.
“Allah! Ya, Allah yang akan menolongku!!” kata Nabi.
Kata-kata itu keluar bak halilintar yang menyambar dan menyayat-nyayat dinding kesadaran si penodong.
Ia tak menyangka bahwa dalam kondisi sangat kritis seperti itu Muhammad masih memiliki kekuatan yang menggetarkan. Saat dimana tak ada  pengikutnya sama sekali, Nabi tak ragu akan keselamatan dirinya. Kenyataan itu membuat si penodong tercengah dan jatuhkan pedang yang dibawanya.
Jatuhnya pedang itu tentulah bukan karena kata “Allah” adalah mantera ampuh. Sebab, kita bisa saksikan banyak orang menyebut-nyebut kata itu tapi tak lahir juga keajaiban padanya. Mengapa??
Itu karena, penyebutan “Allah” oleh Nabi dilandasi kekuatan jiwa yang besar. Yaitu kekuatan jiwa yang dilandasi pemahaman yang benar akan orientasi hidup. Berbeda dengan mereka yang menyebut nama-nama Allah hanya di mulut saja. Sebutan itu tidak bermakna dzikrullah (ingat Allah).
Orientasi hidup itu lahir dari ruh suci yang menyinari jiwa Muhammad SAW. Ruh itulah yang menimbulkan kecintaan beliau pada umat manusia. Dan menjadikan penyelamatan manusia dari kehidupan yang rendah sebagai misi sucinya.
Memang, kekuatan jiwa yang paling tinggi hanya muncul dari orang yang mencintai kemanusiaan. Tidak terjebak ke-aku-an yang merupakan kesombonmgan iblis. Ke-aku-an yang menyebabkan iblis tidak mau bersujud kepada Adam dan akhirnya dikeluarkan dari surga.
Ke-tidakterjebak-an Rasulullah pada sifat ke-aku-an bisa di lihat ketika peristiwa Tha’if. Saat Rasulullah di tolak ajakan dakwahnya, di usir dan dilempari hingga terluka parah. Ketika itu datang malaikat Jibril tidak rela atas perbuatan orang-orang Tha’if itu pada Nabi dan hendak membalasnya. Namun Nabi melarang Malaikat Jibril. Beliau mengatakan pada Jibril bahwa perbuatan mereka itu dilakukan karena mereka belum tahu saja.
Kalau Nabi terjebak ke-aku-an, maka pasti dikabulkannya keinginan Jibril itu. Namun Nabi tidak demikian. Sebab, yang diinginkan Nabi bukanlah nama besar yang ditakuti banyak orang. Namun bagaimana menyelamatkan manusia.
Kembali pada masalah kekuatan jiwa. Maka kita temukan wujud kekuatan jiwa yang paling kelihatan dari kisah di atas adalah sifat tabah dalam berjuang dan mengendalikan diri saat lapang. Sifat tabah itulah yang diajarkan Nabi dalam berjuang. Sebab ketabahan dapat melipatgandakan kekuatan. Demikian termaktup dalam Al-Qur’an surat Al-Anfaal ayat 65-66 yang berarti:
65.  Hai Nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti [623].

66.  Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
[623]  Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan mentaati perintah Allah SWT. Mereka berperang hanya semata-mata mempertahankan tradisi jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah lainnya.

Wallahu A’lam.....
Semoga bermanfaat untuk kita semua. Amien
Kotagede, 1 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar