Alkisah, di suatu tempat Rasulullah didatangi seorang lelaki kafir yang
langsung menodongkan pedang kepada Nabi. Ia berkata : “ Sekarang, tidak ada
siapapun di sini. Siapa yang akan menolongmu wahai Muhammad?”
Memang, di tengah padang
pasir yang sepi itu, tiada seorangpun kecuali Nabi dan si penodong itu.
Tak heran, jika rasa kesombongan yang tinggi merasuki diri si penodong. Dalam
gambarannya, syiar Islam bisa segera ia padamkan seketika. Dan tanpa kesulitan,
ia akan bisa memenggal kepala Nabi. Dan sebelum itu pastilah Muhammad
merintih-rintih untuk minta hidup.
Namun, kagetlah ia. Tidak
ada sedikitpun kata-kata merintih minta hidup. Dan tak tersirat sedikitpun
guratan di wajah Muhammad. Beliau justru menjawab dengan tegas pertanyaanya
disertai nada yang menggetarkan hatinya.
“Allah! Ya, Allah yang
akan menolongku!!” kata Nabi.
Kata-kata itu keluar bak
halilintar yang menyambar dan menyayat-nyayat dinding kesadaran si penodong.
Jatuhnya pedang itu
tentulah bukan karena kata “Allah” adalah mantera ampuh. Sebab, kita bisa
saksikan banyak orang menyebut-nyebut kata itu tapi tak lahir juga keajaiban
padanya. Mengapa??
Itu karena,
penyebutan “Allah” oleh Nabi dilandasi kekuatan jiwa yang besar.
Yaitu kekuatan jiwa yang dilandasi pemahaman yang benar akan orientasi hidup.
Berbeda dengan mereka yang menyebut nama-nama Allah hanya di mulut saja.
Sebutan itu tidak bermakna dzikrullah (ingat Allah).
Orientasi hidup itu lahir
dari ruh suci yang menyinari jiwa Muhammad SAW. Ruh itulah yang menimbulkan
kecintaan beliau pada umat manusia. Dan menjadikan penyelamatan manusia dari
kehidupan yang rendah sebagai misi sucinya.
Memang, kekuatan jiwa
yang paling tinggi hanya muncul dari orang yang mencintai kemanusiaan. Tidak
terjebak ke-aku-an yang merupakan kesombonmgan iblis. Ke-aku-an yang
menyebabkan iblis tidak mau bersujud kepada Adam dan akhirnya dikeluarkan dari
surga.
Ke-tidakterjebak-an
Rasulullah pada sifat ke-aku-an bisa di lihat ketika peristiwa Tha’if. Saat
Rasulullah di tolak ajakan dakwahnya, di usir dan dilempari hingga terluka
parah. Ketika itu datang malaikat Jibril tidak rela atas perbuatan orang-orang
Tha’if itu pada Nabi dan hendak membalasnya. Namun Nabi melarang Malaikat
Jibril. Beliau mengatakan pada Jibril bahwa perbuatan mereka itu dilakukan
karena mereka belum tahu saja.
Kalau Nabi terjebak
ke-aku-an, maka pasti dikabulkannya keinginan Jibril itu. Namun Nabi tidak
demikian. Sebab, yang diinginkan Nabi bukanlah nama besar yang ditakuti banyak
orang. Namun bagaimana menyelamatkan manusia.
Kembali pada masalah
kekuatan jiwa. Maka kita temukan wujud kekuatan jiwa yang paling kelihatan dari
kisah di atas adalah sifat tabah dalam berjuang dan mengendalikan diri saat
lapang. Sifat tabah itulah yang diajarkan Nabi dalam berjuang. Sebab ketabahan
dapat melipatgandakan kekuatan. Demikian termaktup dalam Al-Qur’an surat
Al-Anfaal ayat 65-66 yang berarti:
65. Hai Nabi,
Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang
sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.
Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum
yang tidak mengerti [623].
66. Sekarang Allah
Telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.
Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang
sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin
Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
[623] Maksudnya:
mereka tidak mengerti bahwa perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan
mentaati perintah Allah SWT. Mereka berperang hanya semata-mata mempertahankan
tradisi jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah lainnya.
Wallahu A’lam.....
Semoga bermanfaat untuk
kita semua. Amien
Kotagede, 1 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar