Kamis, 12 Oktober 2017

SARUNG “IDENTITAS PEMERSATU BANGSA”

Sarung menurut Wikipedia merupakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa/tabung. Ini adalah arti dasar dari sarung yang berlaku di Indonesia atau tempat-tempat sekawasan. Dalam pengertian busana internasional, sarung (sarong) berarti sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah).

Dewasan ini memang sarung popular menjadi ciri khas kaum muslim di Indonesia. Namun sesungguhnya sarung tidak menunjuk pada identitas agama tertentu. Karena sarung juga digunakan oleh berbagai berbagai suku yang ada. Seperti :
  1. Sarung tenun Poleng (Kain Poleng) sudah menjadi bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali. Kain itu digunakan untuk keperluan sakral dan profane.
  2. Sarung Tenun Tradisional Samarinda, Sebagian besar penduduk Samarinda Seberang adalah bersuku Bugis, maka kebudayaan Bugis sangat terasa kental di daerah ini. Salah satu pengaruh Bugis yang telah dikenal luas adalah “Kerajinan Tenun Sarung Samarinda”.
  3. Sarung khas Suku Batak ( Sarung ulos ),  Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera.
  4. Dan sebagainya, tentunya masih banyak lagi jenis sarung yang dimiliki setiap daerah dengan fungsi dan kegunaan yang beranekaragam
Namun belakangan ini, sarung menjadi hal yang tabuh dikalangan pemuda khususnya mahasiswa dan intelekual. Stigma bahwa orang yang menggunakan sarung sebagai kaum tradisional dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman inilah yang menyebabkan para pemuda enggan untuk memakainya. Hal ini bertolak belakang jika kita melihat dari akar sejarah sarung yang mana memiliki nilai eksotis dan filosofis yang tinggi yaitu: sebagai “identitas pemersatu bangsa”.
Pada zaman penjajahan Belanda, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya barat yang dibawa para penjajah. Para pemuda di zaman kolonial Belanda menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya Barat yang dibawa kaum penjajah. Para pemuda yang memiliki idealisme dan nasionalisme yang tinggi dalam melawan penjajah inilah paling konsisten menggunakan sarung di mana kaum nasionalis abangan telah hampir meninggalkan sarung.
Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang Muslim Nusantara yakni KH Abdul Wahab Chasbullah. Suatu ketika, beliau pernah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.
Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, KH. Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah. Hal ini sesuai kaidah :
Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah
(Memelihara budaya-budaya tradisional yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang lebih baik)
tentunya kita  dapat menjadi generasi yang terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman akan tetapi masih memiliki jati diri dan karakter yang kuat sebagai pewaris budaya dan peradapan Nusantara. Sastrawan ulung MH Ainun Najib mengemukakan:
Jika engkau menemukan siapa dirimu maka kebangkitmu menjadi jelas masalahnya. Jika engkau belum tau engkau ayam, engkau bangkit bukan dengan berkokok. dan jika engkau belum tau engkau anjing maka ketika engkau bangkit tidak dengan menggonggong. aku berharab engkau (bangsa indonesia) bangkit dengan cara dan budaya Indonesia”.
Sehingga memang kita sudah seharusnya kembali hidup dengan berkepribadian dan mempunyai pola pikir dan filosofi hidup yang sesungguhnya. Dalam puisinya D. Zawawi Imron (penyair emas) mengatakan :
Maka nikmat Allah yang manakah yang engakau dustakan, kita lahir di Indonesia minum air Indonesia menjadi darah kita, kita makan beras dan buah-buahan Indonesia menjadi daging kita, kita bersujud diatas bumi Indonesia, bumi Indonesia adalah sajadah kita, dan bila sudah tiba saatnya kita mati, kita semua akan dipeluk olek pelukan bumi Indonesia”.

Sumber : https://sandalsantri.wordpress.com/2014/11/01/sarung-identitas-pemersatu-bangsa/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar